Tidak kelain hati (Dilema atau Delima)
Beberapa minggu yang lalu, saya berbincang
dengan seorang ikhwan. Beliau menikah sekitar satu tahun yang lalu. Dalam
kesempatan itu, kami berbincang tentang rumah tangga. Meskipun saya belum
menikah, insyaallah sudah ada gambaran melangkah kesana.
Sahabat saya bercerita panjang lebar tentang
lika-liku pernikahannya. Dari proses pengajuan proposal, ta’aruf, khitbah
sampai pada prosesi pernikahan. Sayapun larut berimajinasi dengan ceritanya.
Dan saya hanya bisa berdetak kagum. Sungguh perjuangan yang luarbiasa.
Masalah yang umum dalam pernikahan biasanya
adalah pihak keluarga. Akhwat sudah oke, ikhwan juga oke. Tinggal orangtuanya.
Teman saya tadi, dia mendapat masalah terkait tempat tinggal. Pihak keluarga
ikhwan ingin agar setelah menikah tinggal dirumahnya. Begitu juga keluarga
akhwat. Memang begitulah orang tua, terkadang kita tak bisa memahami apa yang
menjadi jalan pikirannya.
Masalah tak cukup disitu. Lanjut pada pembahasan
resepsi. Ini juga riskan dengan perbedaan. Tetapi alhamdulillah teman saya
berhasil menyelesaikan itu semua.
“Menikah
bukanlah akhir, melainkan awal memasuki gerbang baru dan tanggungjawab baru”
Begitulah kira-kira saya menggambarkannya. Dunia
baru dan tanggungjawab baru. Siapapun akan mengalaminya. Siapapun
menginginkannya. Karena jodoh itu sudah pasti, mekipun kapan, dengan siapa dan
bagaimana itu menjadi rahasia Allah SWT. Maka jodoh perlu dijemput, karena
jodoh ada ditangan ALLAH.
Lain ladang lain belalang, lain orang lain kisah
hidupnya. Teman saya yang lain, dia bercerita masih dalam topik yang sama. Dia
sudah berta’aruf dan si akhwat sudah mengiyakan. Lagi-lagi orangtuanya tidak
setuju. Akhirnya pernikahan tidak jadi.
Lanjut dengan ta’aruf yang kedua. Dia sudah oke
dan akhwatnya juga sudah setuju. Bahkan orangtua ikhwan sudah bersilaturahim ke
keluarga akhwat. “namanya belum jodoh” begitulah komentar teman saya. Akhirnya
ta’aruf kedua inipun gagal.
Merenungi tentang pernikahan memang sebuah
misteri illahi. Tak bisa dipaksakan. Tak bisa ditebak. Akhirnya saya
berpendapat bahwa “jodoh boleh diharapkan, tapi tak boleh dipaksakan”. “kita
boleh mencintai, tapi tetap luruskan niat hanya karena Illahi Rabbi Allah
Rabbul Izzati”.
Saya jadi teringat dengan do’a tahajud. Meskipun
saya tak hafal, paling tidak ada yang masih terkenang diingatan saya. Do’a
tahajud mengagungkan Allah SWT. Diawali dengan pengakuan bahwa Ilmu ALLAH SWT
lebih hebat. Karena Allah SWT mengetahui apa yang ada didalam lubuk hati dan
mengetahui masa depan. Allah SWT juga tahu siapa yang terbaik untuk kita dan
mengetahui yang cocok untuk kita. maka, boleh jadi kita mnilai seseorang itu
sempurna dan baik, namun menurut ALLAH SWT tidak demikian. Begitu juga
sebaliknya. Maka dari itu, kepasrahan setelah berikhtiar mutlak dibutuhkan.
Yakin dengan harapan memang harus, tetapi menyerahkan hasil kepada yang Maha
Mencitakan itu wajib.
Terakhir, jika memang kita sudah memutuskan
untuk memingnya, namun orangtua belum merestui atau orang tua belum
mengizinkan. Maka saran saya, “jangan
pernah kelain hati”. Jangan kelain hati sebelum benar-benar tak bisa
dirubah. Karena berdasarkan pengalaman teman saya (yang saya ceritakan di
paragraf awal), bahwa ketika kita sudah memutuskan untuk meminangnya, akan ada
bisikan-bisikan negatif untuk berganti kelain hati. Menganggap pilihan kita
kurang sempurna dan menganggap ada yang lebih baik darinya. Ini memang bukan
solusi karena menurut saya jika berlarut-larut tak ada jawaban juga nggak
bagus. Trus? Saran saya tetaplah berusaha untuk memperbaiki diri. Jaga
komunikasi dengan Illahi. Tingkatkan amalan yang wajib. Tambah dengan yang
sunnah. Sering-seringlah curhat kepada Allah yang memiliki jodoh. Siap?
Saya berdo’a semoga Allah SWT memberikan
kemudahan kepada kita unuk menjemput jodoh terbaik kita. galau itu boleh
asalkan menjadikan kita dekat kepada Allah.
Al-Fakir Derit Vikiyono
Posting Komentar untuk "Tidak kelain hati (Dilema atau Delima) "
Terimakasih...