Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencari cinta dalam bekerja



Mencari cinta dalam bekerja
“bekerja tanpa cinta memang menghasilkan produk. Namun bekerja dengan cinta mampu menghasilkan produk lebih baik dan bonus kepuasan hati”
Sudah hampir tuju bulan saya membersamai Yayasan Qurrota A’yun. Dulu sekitar bulan Desember saya mempunyai target untuk “keluar” dari pekerjaan. Tepatnya diawal tahun 2013, namun sampai detik ini (bulan februari) saya masih menjadi bagian dari YQA. Dulu saya pikir, jika saya sudah menyelesaikan tugas saya, membua sistem, menjalankan sistem dan memperbaiki kinerja anggota, namun ternyata tak semudah yang saya bayangkan, tapi masih ada harapan. Lalu saya analisa, apa penyebabnya? Apakah karena gajinya? Diskripsi kerjanya? Tugas dan anggungjawabnya? Atau apa? Dan sampai saat ini saya masih berusaha menemukan alasan utamanya.
Demikian muqodimah artikel ini, namun hari ini kita akan membahas ntang cinta dalam bekerja. Ada sebuah kisah yang sudah sangat terkenal. Abu bakar, menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad fii sabilillah. Umar bin khatab menginfakkan 50% kekayaannya. Saya pikir keduanya adalah contoh orang yang bekerja. Bekerja untuk Allah dan RasulNya.
Memang, iman kita dan iman kedua sahabat tadi jauh berbeda. Secara manusiawi, pasti berat untuk menginfakkan seluruh harta. Jangankan seluruhnya, seper sepuluh saja kita masih “pikir-pikir”. Iya kan?
Setelah saya renungkan, ternyata kuncinya adalah “cinta”. Kedua kholifah itu “cinta” kepada dakwah. Sehingga seluruh jiwa dan raganya untuk dakwah. Seluruhnya, tidak setengah-setengah. Cinta kepada Allah, semuanya diberikan kepada Allah. Inta kepada Rasulullah, rela berkorban untuk melanjutkan Risalah rasulullah.
Cinta memang bukan segalanya, tapi segala sesuatu utuhcinta jika kita menginginkan keberhasilan. Presiden bisa memakmurkan rakyatnya karena cinta. Tanpa cinta, presiden akan mengambil hak rakyat, korupsi, kolusi, nepotisme.
Cinta adalah kunci dalam menjalani hidup ini. Cinta yang utama adalah cinta kepada Allah, kemudian Rasulullah. Juga cinta kepada orangtua, cinta kepada sesama dan cinta kepada alam.
Kembali ke pembahasan awal. Dulu saya tidak begitu peduli denga KAMMI, begitu juga teman saya. Saya melihat kebenciannya lebih besar daripada saya. Bahkan dia tak peduli. Namun kini kami berubah arah, kami menjadi cinta kepada KAMMI. Mungkin bagi anda biasa, namun bagi saya ini sangat luarbiasa. Lalu apa yang mengubahnya? Jawabnya sederhana yaitu “CINTA”.
Beberapa bulan yang lalu, saya diamanahi menjadi pengelola TPA Darussalam. Awalnya biasa saja, karena saya sudah memiliki amanah di tmpat lain. Selain itu saya sengaja memposisikan TPA sebagai tempat belajar, tempat uji coba. Wal hasil, setelah enam bulan ada sedikit banyak rasa cinta untuk mengembangkannya. Alasannya sederhana. Hanya “Saya ingin membesarkan TPA”.
Ainstein training center (ATC), sebenarnya ini sederhana. Ada ide. Aksi membuat halaman FB. Aksi membuat logo dan branding. Semua saya lakukan dengan cinta. Alhamdulillah setiap bulan selalu ada yang membutuhkan jasanya.
Jadi kita amat sangat butuh cinta. Karena cinta adalah bahasa jiwa. Cinta adalah getaran hati. Semakin besar getaran, semakin besar cinta. Namun kita harus bisa mengelola cinta. Jangan berlebihan, tapi juga jangan terlalu sedikit. Pastikan dalam porsi “PAS” karena prioritas itu penting dan berlebihan dilarang.
Bekerja ikhlas lillahita’ala memang harus, tapi secara naluri dan manusiawi, memberikan upah itu kewajiban bagi yang mempekerjakan. Bukankah rasulullah pernah berpesan agar membayar upah sebelum keringat kering? Uang belum bisa dipastikan mendatangkan cinta, namun bekerja tanpa uang bisa menimbulkan kebencian. Ikhlas itu harus, tapi sebagai direktur/atasan, kita perlu memikirkan untuk ganti tenaganya.
Di TPA Darussalam, saya dan teman-teman sedang mencari cara agar para Ustadz/h mendapatkan ganti tenaga yang layak. Memang sih mereka tidak mengharapkan itu, namun mereka harus belajar untuk itu. Karena akan ada saatnya dimana mereka harus bekerja dan mendapatkan penghasilan. Bekerja yang menghasilkan dan sedikit demi sedikit akan meninggalkan yang tidak menghasilkan. Sekali lagi, uang memang bukan segalanya. Saran saya “terimalah” amplop itu. Selanjutnya terserah anda, mau di infakkan atau dihibahkan.
Untuk orang yang bekerja dalam dakwah, uang memang tidak menjadi patokan, namun waktunya untuk bekerjalah yang harus kita hargai, apalagi kita sebagai pengguna jasanya berfinansial. Ini jauh lebih wajib. Jangan sampai hanya memanfaatkan keimanan dan cintanya kepada dakwah untuk kepentingan diri kita sendiri. Renungkan...
Terakhir, kembali ke laptop. Bagi anda, siapa saja, carilah alasan agar anda mencintai apa yang anda lakukan. Karena dengan cinta anda akan mendapatkan kepuasan, bukan sekedar finansial. Dan saya yakin, cinta akan menjadikan anda fokus dan berhasil.
Mencari cinta dalam bekerja memang tidak mudah, tapi anda pasti bisa, baik sebagai atasan maupun bawahan. Atasan lbih peka, bawahan lebih memahami dan menerima. Good luck.
(Derit Vikiyono,S.Pd /Direktur Ainstein Training Center Indonesia)

Posting Komentar untuk "Mencari cinta dalam bekerja"