Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya?
Oleh
: Derit Vikiyono (Ketua PD KAMMI Ponorogo, Twitter : @Deritvikiyono)
Saya tercengang dan masih bertanya-tanya, mengapa dari dulu hingga
sekarang masih saja ada “sogok-menyogok”
menggunakan uang dalam pemilihan di Indonesia ini. Apakah memang Negara ini (rakyat)
belum siap untuk memasuki era demokrasi yang lebih terbuka dan transparan? Dari
data empiris dilapangan menunjukkan dan menguatkan hampir dalam setiap
pemilihan kepala daerah baik gubernur, presiden, walikota, bupati dan juga
pemilihan legislative seperti DPRD tingkat I, DPRD tingkat II dan DPR RI selalu
ada saja oknum yang menggunakan uang untuk membeli suara. Ya, membeli suara
rakyat.
Hebatnya, Isu pemblian suara ini tidak hanya terjadi di Desa, bahkan di
kota pun terjadi. Maksud saya, di Kota yang rata-rata penduduknya adalah
masyarakat yang terdidik seharusnya tidak mau suaranya dibeli karena mereka
seharusnya memilih menggunakan logika yang logis, bukan sekedar memilih kucing
dalam karung, apalagi yang jelas-jelas berbuat curang dengan membeli suara. Ini
sangat memprihatinkan. Apakah kita akan diam saja? Pemilih sehat tentu tidak
demikian.
Kemudian timbullah sebuah pertanyaan di benak saya yang mungkin juga ada
dalam benak pembaca sekalian, “darimana
uang itu ia dapatkan?”. Menurut analisa saya uang itu didapat minimal dari
tiga sumber yaitu 1)gaji atau penghasilan pribadi yang ia sisihkan untuk dana
kampanye, 2)hasil deal-deal proyek (korupsi) hak rakyat yang telah disetting
ketika menjabat sebagai anggota dewan periode sebelumnya, dan 3)hutang kepada
sumber dana tertentu. Memang ketiganya ini baru analisa saya pribadi, namun
mari coba kita kaji bersama.
Pertama dari gaji atau penghasilan pribadi yang ia sisihkan untuk dana
kampanye. Ini menurut saya sumber dana yang halal dan baik, karena tidak
melakukan kecurangan terhadap orang lain. Gaji/upah yang dimaksud adalah
gaji/upah karena hasil kerja keras dengan cara yang halal. Sumber dana yang
seperti ini adalah sumberdana yang tidak melanggar undang-undang, tidak
merugikan dan tidak mengambil hak oranglain.
Sumber dana kemungkinan kedua
adalah hasil deal-deal proyek (korupsi) hak rakyat yang telah disetting ketika
menjabat sebagai anggota dewan, meskipun tidak semua anggota dewan melakukan
hal seperti ini. Masih ada anggota Dewan yang baik juga. Mungkin kita akan
kesal jika tahu bahwa ada dewan yang berbuat curang seperti ini. dan sayangnya
hal semacam ini tidak dipahami semua masyarakat. Apalagi masyarakat desa yang
tidak berkecimpung di Pemerintahan Desa, pasti tidak tahu dan mungkin kaget,
bahwa ternyata ada penyelewengan-penyelewengan hak rakyat oleh elit
pemerintahan. Namun bagi orang yang berperan aktif dalam Pemerintahan desa ataupun
pemerintahan daerah pasti sangatlah paham bagaimana teknis penyelewengan dana
ini.
Sebagai contoh misalnya ada seorang anggota Dewan dari partai tertentu,
sebut saja partai A, kemudia beliau berkunjung ke suatu Desa. Dia memberikan
bantuan berupa masjid dengan syarat dana dipotong 5-10% yang masuk ke kantong
anggota Dewan. Ini salah satu contoh penyelewengan. Dana untuk masjid saja
berani untuk dimakan. Benar-benar keterlaluan. Dan ini terjadi di negeri kita. Padalah
dana yang diberikan itu adalah dana dari pemerintah yang mana dana itu memang
ditujukan untuk masyarakat, hanya saja turunnya melalui anggota dewan. Dana
seperti inilah dana yang disisihkan untuk berkampanye. Bagus jika kampanyenya
baik, namun akan rusak jika kasihkan berupa uang kepada masyarakat disekitar
tempat itu untuk membeli suaranya. Ini sama halnya membodohi masyarakat.
Masyarakat dibeli dengan dana mereka sendiri. Sungguh terlalu.
Sebagai contoh lagi, missal dalam proyek-proyek pembangunan jalan (aspal)
yang dilakukan oleh pemerintah yang turun melalui dewan. Ini terjadi di
beberapa tempat. Dalam kondisi seperti ini rakyat dikibuli, mereka diberikan
aspal jalan asalkan mau memilih anggota
dewan yang membawanya, padalah dana itu memang untuk rakyat dan sekali lagi
dana dari pemerintah itu adalah dana rakyat dari pembayaran pajak dll. Rakyat
dibodohi, belum lagi jika proyeknya itu juga sudah deal-deal dengan kontraktornya.
Ngeri.
Disini saya tidak bermaksud menyalahkan anggota dewan, toh sebenarnya
juga tidak semua dewan seperti itu. Masih ada yang baik. Namun biasanya yang
memiliki kekuasaan seringkali memanfaatkan untuk mendapatkan dana dengan cara
yang merugikan rakyat. Dan ini yang biasa kita sebut Korupsi. Dan dana semacam
ini adalah dana yang tidak baik.
Terakhir, calon anggota dewan bisa jadi hutang kepada sumber dana
tertentu. Kalau yang ini sudah jelas merugikan. Orang yang berhutang, otomatis
harus mengembalikan. Kapan mengembalikan? Jika dia terpilih menjadi anggota
dewan. Mengapa sampai berani berhutang? Ini motifnya banyak, salah satunya
adalah adanya sumber dana menggiurkan seperti point nomor dua diatas. Banyak
proyek, banyak sumber dana untuk mengembalikan hutang. Maka tidak heran jika
ada caleg yang menjadi stress ketika dia tidak terpilih menjadi anggota dewan.
Maklum, hutangnya sudah menumpuk dan dia tidak mendapatkan sumber untuk
mengembalikannya.
Dariketiga sumber dana diatas (yang bisa jadi digunakan untuk membeli
suara rakyat), maka saya sarankan jika anda mendapatkan uang maka “terima saja
uangnya, jangan pilih orangnya” karena memang uang itu sejatinya sumbernya dari
dana pemerintah dan dana pemerintah adalah dana kita. Terus mengapa kok tidak
boleh “memilih orangnya?”, ya sudah jelas secara sederhana saja kalau mereka
mengeluarkan dana otomatis mereka juga berusaha mencari kembalian dengan cara
apapun. Toh mereka memberikan uangnya juga “ikhlas”. Kalaupun uang itu dari
kerja kerasnya maka itu adalah sedekah, namun jika uang itu dari sumber yang
tidak jelas (missal korupsi) maka sebenarnya itu yang dikorupsi juga uang kita,
uang rakyat.
Meskipun demikian, sekali lagi tidak semua calon seperti itu. Ada juga
calon yang masih bersih tanpa membeli suara. Calon yang masih murni menggunakan
cara-cara yang sesuai dengan aturan Undang-Undang yang ada, misalnya pemasangan
Benner, sapanduk, bendera dan sosialisasi baik melalui media cetak, dan elektronik.
Semacam inilah yang dibolehkan oleh undang-undang, bukan malah sebar uang.
Dalam hal ini UU No 8 Tahun 2012 Tentang "PEMILU" Pasal 301 ayat 1
dan 2 telah menyatakan dengan tegas yaitu :
“(1) Setiap pelaksana Kampanye Pemilu yang
dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).”
(2) Setiap pelaksana,
peserta, dan/atau petugas Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang
menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih
secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).”
Maka dari itu, mari kita menjadi pemilih cerdas, jangan mau dikibuli oleh
orang-orang yang tidak bertangungjawab. Seakan-akan mereka menawarkan bantuan
kepada kita, padahal mereka akan mengeruk uang Negara yang menjadi hak kita
bersama. Lalu apa bedanya kita dengan zaman ketika kita dijajah? Dan apa pula
bedanya mereka dengan para penjajah? Makadari itu, Jadilah pemilih cerdas untuk
Indonesia yang lebih baik. Siap menerima uangnya dan tidak memilih orangnya?
Jawaban ada ditangan kita masing-masing. Buktikan di tgl 9 April nanti.
Posting Komentar untuk "Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya?"
Terimakasih...