Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meningkatkan kinerja peserta didik dalam teknologi pendidikan



Meningkatkan kinerja peserta didik dalam teknologi pendidikan
Oleh : Derit Vikiyono (Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNS Surakarta, Ketua PD KAMMI Ponorogo)

Selama ini banyak orang yang belum paham tentang teknologi pendidikan. Banyak yang mempunyai presepsi bahwa teknologi pendidikan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi informasi, computer, gadged dan perkembangan IT dalam pembelajaran lainnya. Persepsi itu tidak salah, namun kajian teknologi pendidikan sebagai suatu bidang ilmu, hal tersebut hanyalah bagian terkecil dari teknologi pendidikn. Lalu seperti apa teknologi pendidikan itu?
Teknologi pendidikan memiliki perkembangan definisi yang berbeda beda dari masa ke masa. Tentu saja pengaruh yang paling utama dari adanya perkembangan definisi adalah adanya perkembangan teknologi informasi. Semakin hari teknologi terus berkembang, maka dalam hal ini teknologi pedidikan pun mengalami perkembangan yang seiring seirama. Tahun 70an belum ada HP, maka belum ada mobile learning. Sekarang HP sudah dimana-mana sehingga harus ada definisi yang mewakili adanya mobile learning ini. seperti itulah kurang lebih gambaran sederhananya.
Ada sebuah organisasi internasional yang fokus menggarap teknologi pendidikan. Organisasi itu adalah AECT (Association for Educational Communications and Technology). Sebagai sebuah asosiasi yang beranggotakan pakar teknolog pendidikan dunia. Salah satu produk dari asosiasi ini adalah mendefinisikan tentang teknologi pendidikan. Apa itu teknologi pendidikan? Dan apa makna atau tafsir dari definisi tersebut.
Secara singkat, pada tahun 1994 teknologi pendidikan didefinisikan “instructional technology is the thory and practice of design, development, utilization, management, and evaluastion of process and resources for learning”. Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dari perancangan, pengembangan, pemanfaatan, manajen dan evaluasi pada proses dan sumber untuk belajar. Dalam definisi ini ada lima ranah atau bidang garap yaitu perencanaan, pengembangan, pamanfaatan, manajemen dan evaluasi dalam proses dan sumber belajar. Definisi ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2004.
Definisi teknologi pendidikan tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan definisi tahun 2008. Maka dari itu, langsung saja definisi AECT Tahun 2008 “Educational Technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological process and resources”. Teknologi Pendidikan adalah studi dan praktek etika untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi. (Januszewski and Molenda, 2008: 1). Lalu apa makna meningkatkan kinerja dalam teknologi pendidikan? Berikut penjabarannya.
Teknologi pendidikan sebagai salah satu sarana meningkatkan kinerja, menurut penjelasan AECT ada tiga kinerja yang harus ditingkatkan yaitu 1) kinerja peserta didik, 2) kinerja pendidika dan perancang pendidikan dan 3) kinerja organisasi pendidikan.  Lalu pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan kinerja peserta didik? Hal apa saja yang perlu kita ketahui. Maka disinilah nanti perkembangan IT, model, strategi, pendekatan, paradigm pembelajaran dan metode pembelajaran menjadi sesuatu yang harus dikembangkan kaitannya dengan teknologi pendidikan, walaupun sebenarnya yang kaitannya dengan teknologi hanyalah bagian terkecil dari tujuan peningkatan kinerja peserta didik.
Untuk meningkatkan kinerja peserta didik dalam proses belajar maka harus ditempuh dengan berbagai cara salah satunya menurut AECT adalah pembelajaran yang bermakna. Siswa diberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna, bukan sekedar terfokus dapat menyelesaikan ujian Nasional. Lalu apa pembelajaran yang bermakna itu? Yang jelas pembelajaran bermakna berbeda dengan pembelajaran hafalan. Pembelajaran bermakna akan terjadi jika peserta didik mampu menghubungkan konsep baru (materi) dengan konsep lama (pengetahuan,pengalaman) yang sudah ada dalam struktur kognitifnya. AECT memberikan 4 hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna yaitu 1)bukan sekedar menilai hasil, 2)memperhatikan tingkat kecerdasan (multiple intelligence), 3)memperhatikan domain-domain pembelajaran, dan 4)mengedepankan pembelajaran yang lebih berkesan mendalam atau deep learning.
Pertama, bukan sekedar menilai hasil. Guru dalam memberikan evaluasi atau penilaian harus memperhatikan proses dalam belajar, bukan sekedar hasil ujian. Dalam penjabarannya, AECT 2008 menyatakan bahwa sebagian guru ada yang menilai keberhasilan siswa hanya dengan pensil dan selembar kertas, selebihnya mereka tidak paham dan hanya selembar kertas itu yang ia dapatkan. Maka untuk meningkatkan kinerja peserta didik seorang guru harus mampu mendesain agar anak banyak berproses dengan pemahaman-pemahaman konsep dasar yang benar.
Dalam IBT (Internasional Based Curriculum) yang diterapkan di beberapa sekolah internasional sangat faham dengan point penting ini. Dan saat ini kurikulum 2013 jika kita perhatikan mencoba mengarah ke sana, meskipun belum se ideal konsep IBT. Maka sebagai guru, kita tidak perlu menunggu agar kurikulum kita berubah, mulailah dari sekarang untuk memperhatikan proses dan berikan pemahaman tentang apa yang diajarkan, bukan sekedar doktrin ingatan yang suatu saat dilupakan.
Kedua, memperhatikan tingkat kecerdasan (multiple intelegence). Kecerdasan merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan peserta didik. Peserta didik dengan taraf kecerdasan rendah sulit diharapkan untuk bisa mendapatkan prestasi yang tinggi. Akan tetapi, bukan jaminan pula siswa dengan taraf kecerdasan yang tinggi kemudian akan sukses belajar dengan prestasi tinggi di sekolah. Mengapa demikian? Karena sebenarnya siswa itu adalah manusia yang cerdas dan cemerlang. Mereka seperti mutiara yang berkiluan, maka sebenarnya ketika dia tidak unggul di satu bidang, dia pasti memiliki keunggulan dibidang lain.
Seringkali di Negara kita ini orang cerdas dilihat dari nilai matematikanya. Siapa yang tinggi nilai matematika maka dialah yang dianggap paling pandai. Anak SMA se-Derajat, seringkali bangga jika masuk jurusan IPA dan kurang percaya diri ketika masuk di jurusan IPS. Dalam dunia pendidikan tidak demikian. Diyakini bahwa setiap orang memiliki potensi masing-masing yang itu satu dengan yang lain berbeda-beda. Inilah yang harus dipahami oleh setiap guru dan siswa. Menurut Gardner dalam Abdul Ghofar (2009:22) menyebutkan bahwa “IQ tidak boleh dianggap sebagai gambaran mutlak seperti halnya ukuran tinggi badan, berat dan tekanan darah”. Maka orang yang pandai mata pelajaran matematika, belum tentu pandai pelajaran bahasa. Begitu juga sebaliknya. Dan keduanya Antara yang pandai matematika dan yang pandai Bahasa adalah orang yang cerdas.
Gardner dalam Abdul Ghofat (2009: 23) menyebutkan ada 7 kecerdasan yang ada pada diri manusia yaitu 1)kecerdasan linguistic(Bahasa), 2)kecerdasan logis-matematis, 3)Kecerdasan Visual-Spasial, 4)kecerdasan musical, 5)kecerdasan kinestetik-tubuh, 6)kecerdasan interpersonal (sosial),  dan 7)Kecerdasan intrapersonal. Kemudian di tahun 1996, Gardner menambahkan satu lagi kecerdasan yaitu kecerdasan Naturalis sehingga ada 8 kecerdasan menurut Gardner. Delapan kecerdasan ini harus dipahami oleh guru sehingga guru tidak menghakimi dan membunuh karakter siswa dengan kata-kata “kamu bodoh” hanya karena tidak cepat paham mata pelajaran matematika atau kasus-kasus buruk lainnya.
Ketiga, memperhatikan domain-domain belajar. Menurut AECT ada 3 (tiga) domain belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif mencakup kegiatan mental (otak). Berarti guru harus mampu membangun mental dan kecerdasan otak peserta didik. Sedangkan affektif berkaitan dengan sikap dan nilai-nilai yang baik. Dan psikomotorik berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Guru harus memperhatikan tiga hal ini. Guru bukan sekedar mengukur dan melejitkan kognitifnya saja yang bisa ditunjukkan dengan angka hasil ujian, namun guru juga harus mampu meningkatkan domain afektif dan psikomotorik. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang harus dikembangkan.
Keempat, mengedepankan deep learning. Pebelajaran yang mendalam dan lebih berkesan memang tidak mudah diciptakan, namun bisa. Bagaimana caranya? Konsepnya sederhana bahwa pembelajaran yang berkesan dan mendalam itu adalah pembelajaran yang bisa membuat peserta didik tertarik, terlibat dan tak terlupakan. Metodenya bisa menggunakan apa saja seperti game, story telling, diskusi, eksplorasi dan penelitian sederhana atau dengan metode lainnya. Maka sebenarnya untuk menciptakan deep learning kita perlu pertimbangkan 3 point sebelumnya yang itu jika diintegrasikan akan mampu memberikan hasil yang mendalam bagi peserta didik.
Demikian sedikit sharing tentang cara meningkatkan kinerja peserta didik dalam teknologi pendidikan. Semoga memberikan pencerahan dan semangat baru kepada para pendidik, pemerhati pendidikan, siswa dan juga siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pendidikan memang bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari pendidikan. Percaya? Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang kapan lagi kita memulai mengubah pendidikan? Dengan pendidikan kita ubah Indonesia. Mau? Wallahualam…

Posting Komentar untuk "Meningkatkan kinerja peserta didik dalam teknologi pendidikan"